Wednesday, May 18, 2011

Jangan Buru-buru Komentari Status Saya

'Think before posting'. Begitu status seorang teman di facebook hari ini. Teman ini jarang sekali memperbaharui statusnya. Maka gatallah jempol-jempol saya mengomentari statusnya. Mungkin lagi ada malaikat bijak nangkring di kepala saya, saya lalu berpikir, kalau 'think before posting' adalah hal yang baik, bukankah sebaiknya saya juga 'think before commenting'.

Saya jarang sekali berpikir sebelum mengomentari status seorang teman di posting. Saya memang pilih-pilih. Hanya teman-teman dekat saja yang saya komentari. Itupun kebanyakan bercanda saja. Selebihnya ucapan selamat, bela sungkawa, apa kabar, dan isu-isu pengabaian negara terhadap rakyatnya. Bukannya saya sombong, tapi saya memang tidak cukup percaya diri untuk berpikir bahwa si teman menganggap komentar saya penting.

Berpikir sebelum menerbitkan status, memang jarang sekali saya lakukan. Merunut status-status di facebook beberapa waktu ke belakang, saya memang terkesan sebagai si tukang keluh. Saya paling banyak berkeluh soal PT. KAI, pemerintah, dan negara.

Selain sebagai tukang keluh kelas master, saya adalah juga si penghayal. Saya punya banyak potongan cerita tentang hubungan antar manusia. Suami yang ragu menceraikan istrinya. Majikan yang jatuh cinta pada pekerja. Ibu warung yang bermusuhan dengan tukang sayur. Seorang anak dengan sahabatnya. Perempuan paruh baya dan boneka manekim. Guru yang diomeli orangtua murid. Remaja yang senang meniti rel kereta. Potongan-potongan cerita itu beberapa kali saya rangkai ke dalam kalimat-kalimat dan saya publikasikan sebagai status di ranah sosial dunia maya. Mungkin kalimatnya bombastis. Kasar. Terlebih, saya lebih sering menghayalkan bagian klimaks ceritanya saja. Tanpa pengantar atau perkenalan tokoh. Kadang mengindikasikan perselingkuhan. Mengundang perhatian karena mengingat saya masih istri seseorang.

Status-status yang saya buat tanpa berpikir itu, yang kalimatnya kasar itu, tanpa saya sadari ternyata menyinggung perasaan orang lain. Ternyata memicu label jelek pada diri saya. Saya pikir adalah wajar, wong saya juga tidak berpikir membuatnya. Maka dampaknya juga minus dari pikiran saya.

Tapi saya berusaha mencari hal baik dari situasi buruk ini. Kontroversi yang saya munculkan itu, mengundang komentar dari teman-teman yang sebelumnya tidak peduli pada saya di dunia maya. Saya merasa senang. Ternyata dia masih menilik-nilik nama saya, meski intervensinya dalam bentuk kritik, canda, atau makian.

Suatu ketika pada sebuah toko buku seorang teman menunjukkan pada saya sebuah buku berjudul 'cemburu itu peluru'. Saya belum membaca buku itu, karena pada teman yang satu ini saya doyan membuktikan padanya bahwa saya bisa memilih sendiri buku yang baik untuk saya. Kata teman saya itu, buku itu berisi cerpen yang berawal dari status di twitter. Lalu cerita berkembang dengan merangkai komentar-komentar ataupun khayalan-khayalan. Saya bilang padanya, yang saya lakukan mirip cerpen itu. Saya beberapa kali menulis potongan cerita tak selesai sebagai status di facebook saya. Saya dapat beberapa komentar. Ada yang menanggapinya dengan candaan, bahkan ada yang tersinggung dan memaki.

"Makanya kalau melihat status orang di facebook atau ranah sosial maya, jangan buru-buru kasih komentar miring. Belum tentu status itu ungkapan perasaannya dia," kata teman saya itu. Ya saya sepakat, think before commenting.

Sejak itu saya berhati-hati berkomentar terhadap status seseorang. Pun semakin berhati-hati menerbitkan status saya. Tapi kalau sudah terlanjur bagaimana. "Ah, facebook aja dipikirin," kata adik saya.