Monday, September 27, 2010

pelajaran dari opung panjang

delapan bulan lagi...

itu kata dokter tentang berapa lama lagi usia bapak mertuaku.

tiga kali kemoterapi lagi...

itu kata paranormal yang didatangi adik iparku di sebuah kawasan di bantul, yogyakarta.

hari ini, lusa, tahun depan, besok. apa bedanya?

kematian adalah teman terdekat manusia. siapa diantara kita yang bisa mengelak darinya. hari ini mungkin dia, besok pasti mereka, 5 menit lagi mungkin saya.

***

mei 2005, opung panjangku meninggal dunia. kepergiannya membuat kami satu keluarga besar merunut kembali rentang hidupnya selama 82 tahun. juga kematiannya yang begitu sempurna dan memberikan pelajaran tentang kematian.

opung panjang selalu menulis catatan harian. diary. sejak kapan, bapakku sendiri tidak pernah tahu. sepertinya sejak beliau pensiun. opung panjang bekerja sebagai mandor perkebunan. dari jaman belanda hingga beberapa tahun sebelum kematiannya, ia bekerja dari perkebunan ke perkebunan. paling lama di perkebunan karet. jadi, beliau sebenarnya tidak pernah benar-benar pensiun. secara ketenaga kerjaan dia memang pensiun, tapi pihak perkebunan bolak-balik meminta bantuannya. tempatnyapun berpindah-pindah. seingatku dia pernah bekerja di kisaran, parapat, tebing tinggi, rantu prapat, dan tempat-tempat lain yang namanya hanya sekali aku dengar.

jadilah, catatan-catatan harian opung berceceran di banyak tempat itu. tapi ada satu buku catatan harian yang cukup keramat yang selalu beliau bawa kemana saja. buku catatan harian yang di dalamnya memuat banyak peristiwa di bulan agustus 1980. iya, perjalanan hidup opung panjang memang begitu mengkultuskan hari kelahiran abangku. kelahiran cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama. buku catatan harian yang satu ini sekarang disimpan baik-baik oleh bapakku.

opung panjang selalu memulai catatan hariannya dengan doa. bersyukur karena Tuhan menambahkan satu hari dalam hidupnya. pada hari minggu dia akan menyarikan kotbah pendeta. setiap perjalanan ke pekerjaan yang baru juga tercatat di situ. hari ini dia membangun rumah siapa. besok dia membuka lahan dimana. beberapa pernikahan juga dia catat. terutama pernikahan-pernikahan yang kerja adatnya dibantu oleh beliau. yang paling menarik adalah opung panjang juga mencatat kematian. kematian kerabat, teman, tetangga. semua kematian yang dia dengar atau upacaranya beliau hadiri.

pada catatannya opung akan menggambar sebuah salib. di samping salib itu dia akan menulis nama orang yang meninggal, tanggal lahir, dan tanggal kematiannya. sekali waktu aku pernah bertanya padanya: opung, kenapa opung mencatat kematian banyak orang. beliau menjawab, ini untuk mengingatkanku, bahwa suatu saat nanti adalah giliranku.

opung pendek, istri opung panjang, telah lebih dulu meninggal dunia pada tahun 1993. waktu itu opung panjang mungkin berusia 70 tahun. sejak itulah opung panjang semakin sering berbicara tentang kematiannya. setiap kali dikunjungi, kepada cucu-cucu beliau berkata: doakan biar opung cepat mati ya. setiap kali itu juga aku kesal setengah mati.

suatu kali ia tinggal cukup lama di rumah kami di medan. dia berkutat di depan televisi dan memasang lagu-lagu rohani. semuanya berbahasa batak. beliau kemudian memanggilku dan menunjukkan sebuah keping lagu berbahasa batak. judulnya: nunga loja au Tuhan.

Nunga loja au o Tuhan di si ulubalang ari.
Naeng tumibu au pajumpang rap dohot Ho di surgo i
Nunga bot mata ni ari, lam jonok nang ajalhi
Nunga loja au o Tuhan rade ma baen ingananki.

(Aku sudah lelah, ya Tuhan, di hari yang panas terik
Aku ingin cepat bertemu denganMu di sorga
Hari sudah gelap tanda ajalku sudah dekat
Aku sudah lelah ya Tuhan, sediakanlah tempat kediamanku)

Nang pe naung hudai hubolus hamoraon, hagabeon
songon ombun na mamolus sude do tinggal ambolong
Aha na tarboan ahu lobi sian uloshi?
Nunga loja au o Tuhan rade ma baen ingananki.

(Walaupun sudah kualami kulewati kekayaan dan kesuburan
seperti embun yang berlalu semua hilang lenyap
Apakah yang bisa kubawa selain dari ulos-ku?
Aku sudah lelah, ya Tuhan, sediakanlah tempat kediamanku)

Lam rambon simalolongku gok nang uban di ulungku
reung nang holi-holingku gale sude pamatangki.
Ndang be sai huparsinta leleng ari-aringki
Nunga loja au o Tuhan, rade ma baen ingananku.

(Mataku semakin kabur kepalaku penuh uban
Tulang-tulangku kering dan seluruh tubuhku lemah.
Tidak lagi kudamba agar lama hari-hari kehidupanku.
Aku sudah lelah, ya Tuhan, sediakanlah tempat kediamanku)

*dicopy dari blog Pdt Daniel T.A. Harahap

nyanyikanlah lagu ini nanti waktu opung meninggal ya, kata opung panjang. tentu saja aku menolak, ah si opung ini ada-ada saja. aku tidak mau berlatih menyanyi untuk hal yang tidak aku sukai.

opung menghela nafas, katanya: janganlah kau marah setiap kali aku bicara mengenai meninggalku. aku ini sudah tua. opung pendekmupun sudah lama meninggalkan aku. apalagi yang aku inginkan di dunia ini. sudah capek aku. pokoknya kau nyanyikan saja lagu ini nanti.
memangnya kapan opung meninggal, tanyaku menantang.
ya entah kapan, jawabnya.
mungkin aku yang lebih dulu meninggal, kataku.
mungkin. bisa saja. tapi aku tahu aku dulu yang lebih dulu, begitu jawab opung.

kalau aku tidak salah ingat, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 2000-2001. aku tidak pernah mempelajari lagu itu sampai opung meninggal tahun 2005. lagu itu membuat hatiku perih luar biasa. sebuah janji yang tidak pernah aku tepati sekaligus tidak pernah hilang dari ingatanku.

april 2005 opung panjang berulang tahun yang ke-82. waktu itu dia bilang ke anak-anaknya. sepertinya aku hidup hanya dalam 2 minggu atau 12 hari lagi. ternyata, opung meninggal 12 hari kemudian.

kami tidak terkejut. sedih, iya. betapapun dia sudah membicarakan soal kematiannya dari belasan tahun sebelumnya, tetap saja hati ini terasa sakit. opung panjang berbicara tentang kematian sedari dia hidup. melalui percakapan sehari-hari, melalui catatan harian, melalui peluk ciumnya pada cucu-cucunya, melalui sebuah lagu, melalui apa saja.

aku belajar sesuatu dari kematian opung panjang. buat beliau kematian bukanlah hal yang menakutkan. kematian adalah hal yang wajar, sewajar catatan hariannya. kematian adalah hal yang tidak bisa kita hindari, seberapapun banyaknya pekerjaan yang belum terselesaikan. kematian adalah sebuah keberuntungan karena kita berjumpa Tuhan.

***

ada teman yang bilang, wajar opungku siap dengan kematiannya. wong dia berumur 82 tahun. kata orang-orang umur manusia hanya 70 tahun, kalau lewat maka manusia itu mendapat bonus. masalahnya adalah, berapa banyak orang yang memanfaatkan bonus itu? berapa orang merasa siap dengan kematiannya, bahkan di usia 82 tahun sekalipun? berapa orang yang merasa dia terlalu muda untuk menghadap Tuhan di usia 35 tahun? tidak semua orang siap. mungkin aku juga tidak siap. tapi kita manusia, yang pada kita melekat kematian bahkan sejak kita lahir. kita bilang dunia ini fana, semu, lantas apa yang kita harapkan di dunia ini. kita bilang kita orang yang percaya Tuhan, mengapa kita takut dengan kematian sebagai satu-satunya cara kita berada di pangkuan Tuhan.

sewaktu melahirkan, aku pernah meminta kematianku pada Tuhan. ketika itu aku merasa tidak sanggup lagi menanggung sakitnya. tapi Tuhan kasih aku bonus. aku boleh melihat wajah-Nya setiap hari melalui anak yang aku lahirkan. sejak itu aku tidak pernah lagi memintanya. biar Tuhan dan alam yang mengaturnya.



No comments:

Post a Comment