Thursday, July 22, 2010

telur merem-melek

"Nanti kita lihat apakah telurnya merem atau melek," kata temanku.

kami sedang dalam perjalanan dari kota Yogyakarta menuju dusun giri asih, kabupaten gunung kidul. kami menuju rumah seorang teman. awalnya teman itu seorang narasumber. sekitar januari 2009, kami datang ke dusun giri asih. memproduksi 2 film dokumenter tentang kehidupan warga yang harus menapaki tanah gunung kidul yang berbukit kapur untuk mendapatkan air bersih. film yang satu lagi bercerita tentang seorang remaja mengorbankan pendidikan dan cita-citanya demi merawat sang ibu yang lumpuh. nama remaja itu Murjinem.



kehidupan keras di tanah yang keras. warga di dusun giri asih tidak memiliki banyak pilihan sebagai sumber penghasilan. rata-rata mereka menanam pohon jati. meski baru bisa dipanen pada usia 3 tahun ke atas, pohon jati merupakan tabungan masyarakat giri asih. sehari-hari mereka mencari kayu bakar untuk kemudian diikat dan dijual. ah, seperti cerita dongeng saja.



kami sungguh tidak tega melihat hidup Murjinem yang tanpa sumber penghasilan yang jelas harus merawat ibu yang sakit. dari kocek masing-masing kami menyelipkan sejumlah uang ke tangan gadis manis itu. pergunakan uang ini sebaik-baiknya, kataku, kamu bisa menghubungiku kapan saja. sejak itu kami berteman. seperti punya seorang adik perempuan.



murjinem rajin berkirim kabar melalui pesan singkat. hingga suatu ketika dia mengirimkan kabar bahwa ia akan segera menikah. mengingat usianya hampir 20 tahun, sebenarnya aku tidak terlalu terkejut. tapi aku memang pernah menyarankan dia untuk tidak cepat-cepat menikah. ibunya masih sangat membutuhkannya. menikah hanya akan membuat perhatiannya terbagi. menurutku.

sembari menunaikan tugas, kamipun bisa menghadiri pernikahan murjinem. alasan murjinem menikah klasik sebenarnya, tapi tetap saja hati terasa miris mendengarnya. murjinem termasuk anak yang manis. untuk ukuran anak desa, kulitnya lumayan bersih. paling tidak ada 10 pemuda sudah melamarnya. beranggapan tidak baik gadis yang sudah dilamar banyak pemuda tidak segera menikah. selama ini murjinem menahan diri untuk tidak menikah dengan alasan ingin fokus merawat ibunya. tapi pada pemuda ke-10 idealismenya hilang entah kemana. "mungkin ini yang namanya jodoh, mbak. mudah-mudahan ini yang terbaik untuk saya,"katanya. ya, semua orang hanya bisa mendoakan.



tapi aku masih miris. "apa dia anak orang kaya?," tanyaku. mungkin ekonomi yang lebih baik bisa menjadi alasan yang masuk akal. tapi ternyata pemuda itu kondisi ekonominya sama saja dengan murjinem. malah untuk pernikahan ini murjinem menjual 2 batang pohon jatinya seharga rp 1,500,000 sepohonnya. terus kamu menikah untuk apa? murjinem hanya tersenyum. kepolosan membuat dia tidak mau repot-repot memikirkan hidup yang memang sudah rumit. jalani saja.

mendekati rumah murjinem, temanku berkata: nanti kita lihat telurnya merem atau melek.

masyarakat jawa ternyata sangat awam menyuguhkan telur sebagai salah satu menu pada hajatan. bagaimana tingkat ekonomi si empunya hajat bisa ditebak dari kondisi telur yang disuguhkan. kalau kondisi ekonominya baik, maka tuan hajat akan menyuguhkan telur merem alias telur utuh. jika kondisi ekonomi tidak baik, maka para tamu akan disuguhkan telur melek alias telur separuh.



kami menemukan telur melek di pesta itu. ah, mur...

mungkin aku yang melihat hidup kelewat rumit. tapi aku akan selalu berharap yang terbaik untukmu. ingatlah, menjadi seorang istri tidak akan menghalangimu menjadi anak yang berbakti pada orangtua. semoga berbahagia...